Kamis, 10 Mei 2012

Pentingnya Kesehatan Reproduksi Remaja
 
ANGKA Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Di antara faktor penyebabnya adalah ancaman kesehatan reproduksi. Kesehatan wanita di masa dewasa dan tua tidak terlepas dari kondisi sebelumnya, yaitu masa remaja. Masa remaja sangat rentan dengan berbagai persoalan kesehatan repoduksi. Ini merupakan masa yang tepat untuk intervensi pendidikan dasar tentang kesehatan reproduksi melalui berbagai media dan cara penyampaian, dengan strategi model pembelajaran yang kreaif dan komunikatif.

AKI di Indonesia menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (2008) adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup, tertinggi di Asia Tenggara. Penyebabnya antara lain tingginya angka kematian akibat komplikasi pada kehamilan dan persalinan, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual, dan kanker reproduktif. Kematian banyak terjadi terutama pada masyarakat miskin dan tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif.
Ancaman kesehatan reproduktif ini membutuhkan pemahaman dan penerapan melalui berbagai strategi.

Harapannya secara perlahan, namun pasti dapat mengurangi AKI. Pemerintah melalui Dinas Kesehatan yang didukung LSM, ormas, sekolah, PKK, dengan berbagai bentuk kegiatan seperti penyuluhan, pelatihan, optimalisasi peran posyandu, karang taruna, dan lain-lain, tertumpu pada satu tujuan, yaitu meningkatnya derajat kesehatan kususnya bagi perempuan, umumnya bangsa Indonesia. 

Ini mengingat jumlah penduduk berdasarkan data pilah angka harapan hidup di Jawa Tengah adalah perempuan (72,9%), laki-laki (69%), di Indonesia perempuan (66,8%), laki-laki (70,7%) (2007). Hal ini mengindikasikan bahwa pemberdaayaan perempuan melalui kesehatan reproduksi akan berdampak pula pada pembangunan bangsa, karena masalah kesehatan reproduksi sesunggguhnya juga merupakan persoalan bangsa.

Kesehatan wanita di masa dewasa dan tua tidak terlepas dari kondisi sebelumnya, yaitu masa remaja, dan anak-anak. Pada masa anak-anak (6-12 tahun), pendidikan seks sudah harus diberikan sesuai dengan kondisi dan kadar kemampuan.

Masa remaja (12-18 tahun), merupakan periode yang sangat penting dan berpengaruh terhadap perkembangan pola tingkah laku di masa tua. Yakni, masa sejak puber sampai saat di mana anak telah mencapai kedewasaan, baik psikologis, seksual, maupun fisiologis.

Remaja pada awal perkembangan (12 -13 tahun), terdapat perbedaan pertumbuhan fisiologis dan perubahan sosial yang berbeda dengan ketika anak-anak. Dalam dirinya terjadi perubahan alat reproduksi dan pertumbuhan tubuh secara keseluruhan. Masa remaja merupakan masa transisi, baik dari sudut biologis, psikologis, sosial, maupun ekonomis, penuh dengan gejolak dan guncangan.

Pada masa ini timbul minat kepada lawan jenis dan secara biologis alat kelaminnya sudah produktif. Remaja menganggap dirinya sudah dewasa dan ia perlu kebebasan yang lebih. Dari sinilah muncul perbedaan konflik antara orang tua dan remaja.

Penyesuaian

Sementara itu, dalam perkembangannya, pribadi dari para remaja mengalami banyak masalah dalam penyesuaian diri bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada saat ini peran keluarga dan guru sangat dibutuhkan untuk membimbing para remaja ke arah yang benar.

Masa remaja merupakan masa pertumbuhan menjadi seorang wanita yang dewasa, dan merupakan masa penting dan menentukan. Pada masa ini peningkatan status kesehatan dan pertumbuhan yang memadai dapat membantu menopang kebutuhan aktivitas yang membutuhkan banyak energi  pada masa dewasa kelak, misalnya pekerjaan manual yang berat atau perawatan anak.

Beberapa penelitian menyiratkan, keberadaan TV dengan perangkat pendukung, banyak disalahgunakan oleh sebagian remaja. Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap 217 siswi SMP swasta di Kota Semarang pada 2008, untuk kelas II dan III didapatkan data 23% pernah melihat film porno. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Bila ditilik berkenaan dengan pengetahuannya tentang kesehatan reproduksi, diperoleh gambaran sebagian besar (99%) berada pada kategori sedang dan kurang, meliputi pengetahuan tentang menstruasi, seks, penyakit kelamin, dan KB. 

Minimnya pengetahuan ini akan berpengaruh pada perilaku. Hal ini dapat dilihat sekitar sembilan siswi (4%) di antaranya telah melakukan hubungan seks dengan pacar, saudara, dan orang tuanya. Bila ditilik dari pekerjaan bapak ditemukan sebagai buruh (30%), tidak bekerja (6,5%), sementara pekerjaan ibu (20,7%) menjadi buruh. Kondisi ekonomi keluarga yang kurang beruntung, ikut memengaruhi perkembangan anak. 

Hasil penelitian lain yang dilakukan penulis terhadap buruh perempuan pada salah satu pabrik di Kota Semarang, dari 88 sampel diperoleh data empat orang (4,3%) menyatakan pernah melakukan hubungan suami-istri dengan alasan suka sama suka dan satu orang diperkosa. Berdasarkan hasil analisis terhadap perilaku kesehatan reproduksi pada sampel yang sama, diperoleh data 42% berperilaku kurang pada pemahaman berkenaan dengan hubungan seks pada saat menstruasi masih diperoleh data 22% setuju dengan alasan tidak tahu.

Berdasarkan penelitian terhadap siswi SMP, persoalan tentang seksologi sebagian besar (73%) diperoleh dari media informasi, kakak/saudara, dan diskusi dengan teman. Pada buruh perempuan 78%, informasi tentang seks dapat diperoleh dari diskusi dengan teman dan pacar. Hasil penelitian terhadap siswi salah satu SLTA di Semarang, diperoleh data sebagian besar 65% permasalahan tentang seksologi disampaikan kepada temannya. Hal ini dimungkinkan, karena 40% siswinya tinggal di pondokan.

Informasi dan persoalan seks seharusnya diperoleh dan disampaikan oleh dan atau kepada orang tua, guru/ustadz, atau pegawai kesehatan. Perolehan informasi yang kurang tepat akan berdampak pada minimnya pengetahuan remaja. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa sumber informasi yang paling bertanggung jawab yaitu orang tua dan guru justru terkecil.

Gambaran tersebut, bila ditilik berkenaan dengan kesehatan reproduksi yang dialami oleh siswi SMP (dari 217 siswi), diperoleh gambaran 57% berada dalam kategori sedang dan kurang. Persebarannya, 29% siswi memiliki keluhan pada alat kelaminnya, seorang siswi merasakan panas pada alat kelaminnya pada waktu kencing, 10 siswi (5%) merasakan gatal pada alat kelaminnya, 97 siswi (45%) mengalami keputihan.

Berdasarkan pengukuran kadar hb pada buruh pabrik terhadap 88 sampel didapatkan data kadar hb-nya sebagian besar 56% kurang normal. Pada penelitian lain terhadap ibu post partum (pasca melahirkan) di Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, diperoleh data sebagian besar (86%) terkena anemia ringan (bila kadar hb-nya  9-10 gr%) dan sedang (bila kadar hb-nya 7-8gr%). Kadar hb normal wanita adalah 12 ñ 16 gram %.

http://www.smkn1-rotabayat.sch.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar